Agung Trisnawanto yang Sukses Ubah Wukirsari Jadi Sentra Penangkar Burung

Dari dulunya jual keliling dengan pikulan, kini warga Wukirsari di Jogjakarta tinggal menunggu pembeli, lalu memaketkan burung hasil penangkaran. Taman wisata burung yang digagas Agung Trisnawanto tengah menunggu realisasi.

 TRI MUJOKO BAYUAJI, Bantul

SATU per satu tetangga yang didekatinya menolak ajakan untuk menangkarkan burung. Alasannya rata-rata sama: takut rugi. Khawatir modal nanti tak kembali.

Tapi, Agung Trisnawanto tak putus asa. Dia akhirnya menawarkan sistem gaduh alias bagi hasil. ”Saya kasih indukan berapa pasang, nanti kalau punya anak dibagi rata sama saya,” ujar Agung.

Agung juga tidak akan meminta ganti rugi jika indukan mati. Begitu tawaran itu diterima para tetangga di Desa Wukirsari, Bantul, Jogjakarta, pria protolan kelas 2 SMP itu pun secara tekun memberikan pembelajaran yang terkait dengan penangkaran.

”Ya sedikit-sedikit, hari ini tetangga situ, nanti ada yang minta digaduh, saya nabung dulu. Lama-lama juga banyak,” ujar Agung.

Dari langkah yang awalnya tertatih-tatih itu, kini, enam tahun berselang, usaha penangkaran tersebut sudah melibatkan sekitar 2 ribu warga desa. Otomatis, ekonomi desa di kawasan Kecamatan Imogiri itu pun menggeliat. Total perputaran uang dari distribusi burung di Wukirsari minimal mencapai Rp 20 miliar.

Memang dari dulu Wukirsari dikenal sebagai desa yang mata pencaharian mayoritas warganya adalah berjualan burung. Tapi, tak sedikit di antaranya yang hanya pedagang kelas pikulan. Tak terkecuali Agung.

Setelah putus sekolah dari kelas 2 SMP Muhammadiyah Imogiri, Agung memilih untuk membantu sang bapak pikulan menjual berbagai macam burung. Agung menyebutkan, sudah menjadi hal umum di Wukirsari anak lelaki putus sekolah saat SD atau SMP untuk ikut pikulan menjual burung ke luar kota. ”Waktu itu pertama kali jual pikulan ke Madiun, tahun 1998,” kenang Agung saat ditemui Jawa Pos (induk Jabar Ekspres) di rumahnya Selasa lalu (7/6).

Rumah Agung itu bukti kerja kerasnya berbisnis burung. Berdiri di atas lahan seluas sekitar 500 meter persegi dengan dua lantai yang masih setengah jadi. Rumah tersebut pernah roboh total saat gempa Jogja 2006 sehingga harus dibangun ulang.

Tinggalkan Balasan