Terbebani Biaya Produksi

KIARACONDONG – Berbagai jenis keramik porselen menghiasi isi rumah H. Oma Saputra di Jalan Stasiun Lama, Kiaracondong. Mulai dari guci, hiasan dinding sampai suvenir memenuhi ruangan, dari luar hingga ujung dalam. Dia bukan pengoleksi, akan tetapi perajin yang mulai ditinggalkan oleh para pembeli hasil kerajinan rumahannya.

Industri Rumahan Keramik Porselen
MELUKIS KERAMIK : Sejumlah pekerja memberi polesan warna pada kramik setengah jadi di Galeri Keramik H.Omma, Jalan Kiaracondong, Kota Bandung, Jumat (23/1).

Industri rumahan yang dimulai sejak tahun 1965 silam ini, sangat digandrungi pada masanya. Namun, tidak sama halnya seperti sekarang. Para perajin mulai meninggalkan produksi karena biaya produksi yang semakin meninggi.

Pembuatan keramik porselen ini tidak melulu menjadi primadona. Pasalnya, modal yang dikeluarkan tidak sebanding dengan pendapatan. Sehingga, dari 30 perajin hanya tersisa sekitar tujuh pabrik saja.

Menurut Oma, beban berat dirasakan olehnya karena harga bahan bakar produksi semakin melonjak. Awalnya, Oma mengaku menggunakan minyak sebagai bahan bakar. Tetapi karena harga minyak terus naik, dirinya beralih ke bahan bakar gas.

Namun, kondisi ini tidak menolong dirinya untuk terus meningkatkan produksi. Apalagi, membuat pabrik baru. Pasalnya, modal pembelian tungku pun sebesar Rp 150 juta.

Hingga saat ini, perajin keramik porselen yang tersisa hanya empat kelompok saja. Yakni, berada di daerah Ciranjang, Cicalengka, Plered dan Kiaracondong. Sementara, tiga kelompok perajin gerabah.

Oma mengatakan, bahan baku yang didapatkan dari daerah Sukabumi dan Bangka Belitung. Berbeda dengan bahan baku gerabah yang bisa didapat di daerah lokal Bandung. ’’Seperti dari daerah Nagreg,’’ katanya kepada Bandung Ekspres.

Dengan kondisi bahan bakar gas yang mencapai Rp 140 ribu per tabung, biaya produksi yang dikeluarkan naik hampir 200 persen. Terkadang, dalam satu hari pabriknya bisa menggunakan tujuh tabung gas elpiji. ’’Kira-kira biaya perbulan sampai 30 jutaan, itu baru gas saja,’’ keluhnya.

Belum lagi dengan biaya lain, seperti listrik dan gaji karyawan. Hal itu memperberat aktivitas pabrik kerajinan yang terbilang langka ini. ’’Apalagi kalau dibuat manajemen perusahaan, lebih besar lagi pengeluarannya,’’ tukasnya.

Tinggalkan Balasan