Sang Saka Merah Putih Jadi Cagar Budaya

bandungekspres.co.id– Usia republik ini sudah 70 tahun. Tapi ternyata baru tahun ini bendera sang saka merah putih, ditetapkan sebagai cagar budaya. Bendera asli yang dijahit oleh Fatmawati, istri Soekarno itu menjadi satu di antara 19 cagar budaya nasional 2015.

Penetapan 19 cagar budaya nasional 2015 itu diputuskan dalam sidang Tim Ahli Cagar Budaya di Serpong kemarin (27/11). Untuk kategori benda cagar budaya selain sang saka merah putih, ada Prasasti Ciaruteum (Bogor), Prasasti Kebon Kopi I (Bogor), dan Prasasti Tugu di Museum Nasional Jakarta.

Kemudian ada dua kelompok kawasan cagar budaya yaitu kawasan Sangiran di Sragen dan kompleks percandian Gedong Songo di Semarang. Sisanya 13 cagar budaya kategori bangunan seperti rumah pengasingan Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan Iwa Koesoemasoemantri di Banda Neira, Maluku. Kemudian ada pesanggrahan Ngeksiganda di Jogjakarta dan pesanggrahan Manumbing di Muntok, Bangka Belitung.

Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Kacung Marijan tidak mempersoalkan bahwa baru tahun ini bendera asli merah putih ditetapkan jadi cagar budaya. ”Jangan menyalahkan yang dulu-dulu,” katanya.

Dengan penetapan ini otomatis bendera merah putih yang asli wajib dijaga. Kacung menuturkan ada beberapa syarat penetapan cagar budaya. Seperti usianya sudah lebih dari 50 tahun, memiliki nilai sejarah tinggi, dan bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan.

Guru besar Universitas Airlangga Surabaya itu mengatakan, jumlah cagar budaya yang terdaftar saat ini ada 66.513 unit. Sedangkan yang sudah ditetapkan baru 1.003 unit cagar budaya. ”PR kami masih besar,” jelasnya. Dia menargetkan tahun depan bisa menetapkan 100 unit cagar budaya tingkat nasional.

Wakil Tim Ahli Cagar Budaya Nasional Bambang Eryudhawan menjelaskan banyak yang kurang tepat dalam mengelola cagar budaya. Dia menjelaskan mengelola cagar budaya itu dimulai dengan penetapan, kemudian perlindungan, pemanfaatan, dan pengembangan. Sayang sekarang banyak pemilik cagar budaya langsung memanfaatkan, tidak dilindungi dulu dengan renovasi kecil. Sehingga banyak yang rusak ketika dimanfaatkan,” papar pria yang juga arsitek itu.

Dia mencontohkan ada bangunan cagar budaya berupa rumah atau gedung lantai dua. Tanpa ada analisis kekuatan struktur, tiba-tiba dimanfaatkan jadi restoran atau tempat hiburan. Risiko terburuk bangunan itu bisa cepat rusak. ”Kita tidak ingin seperti itu,” pungkasnya. (wan/end/rie)

Tinggalkan Balasan