Penggenangan Jatigede Meresahkan

[tie_list type=”minus”]Warga Terdampak Kebingungan Tujuan Relokasi [/tie_list]

DAGO –Pemerintah akan menggenangi Waduk Jatigede pada 31 Agustus 2015 mendatang. Hal itu membuat warga setempat yang terdampak resah.

Terlebih, tuntutan penyelesaian ganti rugi, salah ukur, salah bayar, salah krarifikasi, tanah terisolir dan tanah terlewat, yang menuerut verifikasi Satuan Manunggal Satu Atap (Samsat) Jatigede berjumlah 12.000 keluhan, belum mendapat respons dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Prof Muhdiar, dari Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda kepada wartawan mengatakan, rencana pemerintah dalam melakukan penggenangan Waduk Jatigede tidak mendasarkan penanganan dampak sosial pada standar hak asasi manusia. Serta, tidak memperhatikan PP No 37 Tahun 2010 tentang bendungan. Khususnya, pasal 38 yang mewajibkan dalam kontruksi pembangunan bendungan. Harus melakukan kegiatan pembersihan lahan genangan dan pemindahan satwa liar yang dilindungi dari daerah genangan.

’’Sampai saat ini warga masih bingung akan ke mana pindah,’’ kata dia kemarin.

Menurut Muhdiar, sebelum melakukan penggenangan Waduk Jatigede, pemerintah harus melihat dampak yang akan terjdi setelah penggenangan. Sebab, dikhawatirkan apabila tidak dilakukan pemulihan hutan pasti akan terjadi bencana seperti banjir maupun longsor. Karena itu, mestinya sebelum penggenangan harus mencarikan lahan pengganti hutan seluas dua kali lipat dari hutan itu sendiri.

’’Namun, hingga saat ini lokasi pengganti hutan itu pun belum ada. Tapi, tetap saja memaksakan kehendak untuk segera melakukan penggenangan,’’ tegas Muhdiar.

Dedeh salah seorang perwakilan warga Kampung Sadeng, Desa Cipaku, Kabupaten Sumedang menyesalkan tindakan pemerintah yang seenaknya melakukan penggenangan Waduk Jatigede. Sebab, dalam proyek ini banyak warga yang menjadi korban. Meskipun pemerintah memberi bantuan sebesar Rp 29 juta untuk masyarakat yang berada di sekitar lokasi, namun dana tersebut tidak sesuai dengan kerugian mereka. Juga tidak mencukupi kebutuhan warga.

Dengan permasalahan ini, kata dia, ribuan orang tua menjadi sengsara. Bahkan, mengakibtkan ribuan anak harus rela kehilangan hak untuk melanjutkan pendidikan. ’’Bagaimana nasib anak anak kami yang disebut sebagai generasi bangsa, tapi malah tidak diperhatikan pemerintah,’’ ungkap Dedeh.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan