Partisipasi Pemilih di Kota Rendah

[tie_list type=”minus”]KPU Tolak Tudingan Akibat Minimnya Sosialisasi[/tie_list]

bandungekspres.co.id– Kekhawatiran minimnya partisipasi pemilih di pilkada mulai terbukti. Setidaknya hal itu terlihat di sejumlah kota besar di Indonesia. Meski kota besar memiliki akses pendidikan dan informasi yang lebih baik, ternyata partisipasi pemilihnya justru minim. Berbeda dengan beberapa kabupaten di pelosok yang justru punya tingkat partisipasi tinggi.

Rekor partisipasi terendah pada pilkada serentak 2015 dicetak Kota Medan

Hingga tadi malam pukul 21.00, real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih di ibu kota Provinsi Sumatera Utara itu sangat parah, yakni 26,90 persen. Pada pilkada sebelumnya, partisipasi pemilih di kota tersebut juga rendah, yakni 49 persen.

Surabaya juga tergolong parah, meski tidak seperti Medan. Pasangan calon (paslon) nomor urut 2 Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana memang memenangi pilkada dengan 86,19 persen suara (data dari 98 persen tempat pemungutan suara/TPS). Namun, persentase itu dihasilkan dari 870.829 suara sah atau setara 42,8 persen dari total pemilik suara dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Dari pantauan di 15 daerah, partisipasi pemilih perempuan cenderung lebih tinggi ketimbang laki-laki. Selisihnya 2-10 persen. Pemilih perempuan itu menjadi faktor kunci yang menaikkan partisipasi pemilih di daerah. Juga, sejak Pemilu 2014, pemilih perempuan menjadi andalan KPU untuk menggenjot partisipasi.

Berbagai hal ditengarai menjadi penyebab minimnya pemilih di kota besar. Komisioner KPU Arief Budiman menuturkan, pihaknya membagi kemungkinan penyebab minimnya partisipasi pemilih menjadi tiga. Pertama, pemilih tidak mengetahui bahwa pemungutan suara pilkada dilaksanakan pada 9 Desember.

”Kalau itu penyebabnya, berarti KPU yang salah, tidak mampu menyosialisasikan dengan baik,” ujarnya di gedung KPU kemarin. Minimnya sosialisasi bisa disebabkan macam-macam hal. Bisa KPU di daerah itu memang malas atau anggaran sosialisasi minim sebagai dampak keterbatasan anggaran operasional pilkada.

Kemungkinan kedua, partisipasi minim justru karena pemilih mengetahui betul informasi pilkada, termasuk para calon yang berlaga. Mereka memutuskan untuk golput sebagai bentuk kekecewaan karena calon yang ada dinilai tidak baik. Apabila hal itu yang terjadi, partai politiklah yang menjadi penyebab. Sebab, mereka tidak bisa menyediakan calon pemimpin yang dipersepsi baik oleh pemilih.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan