Merasa Tertekan di Atas Panggung Mertua

Buku Curhat Menantu Konglomerat (2)

Bagaimana Tahir bisa menjadi menantu konglomerat sebesar Dr Mochtar Riady pada awalnya dinilai ibarat perkawinan Cinderella. Tahir yang jadi Cinderella-nya. Dalam perjodohan itu, Tahir memosisikan diri sebagai orang biasa yang bernasib seperti Cinderella.

Tahir selalu ingat betapa miskin keluarganya saat dirinya dilahirkan di Rumah Sakit Undaan, Surabaya. Sampai bapaknya tidak punya uang untuk menebus sang bayi. Cari utang pun tidak berhasil. Sampai, secara tidak disangka, seorang keluarga datang dari Jember dan ketika diceritakan soal penebusan bayi itu bersedia memberikan pinjaman.

Sang ayah waktu itu bekerja membuat becak dan menyewakan becaknya. Sang ibu sebenarnya anak orang kaya dari Solo, tapi harga diri tidak memungkinkan sang ayah meminjam uang kepada mertua. Begitulah adat di keluarga Tionghoa. Waktu itu keluarga tersebut tinggal di satu rumah kuno yang kusam peninggalan Belanda di Jalan Bunguran No 19, Surabaya.

Ketika Belanda terusir dari Indonesia pada 1946-an, memang banyak bangunan yang ditinggalkan. Penduduk berebut menempatinya. Yang bagus-bagus sudah lebih dulu diisi orang. Tinggal bangunan tua di Bunguran yang memiliki banyak kamar itu yang tidak diminati. Bangunan tersebut cukup untuk ditempati tiga keluarga. Yang satu adalah ayah Tahir, yang saat itu bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan koran berbahasa Mandarin di Surabaya. Satunya lagi keluarga Tan Bun Tjoe, wartawan di koran tersebut yang kelak menjadi pemimpin redaksinya. Pada 1980-an, salah satu anak Tan Bun Tjoe, Ir Agus Mulyanto, lulusan Fakultas Teknik Elektro ITS, mendirikan SCTV.

Setelah Tahir menjadi konglomerat, rumah di Jalan Bunguran No 19 itu dibeli untuk dilestarikan sebagai rumah kelahiran Tahir. Bangunannya dibiarkan apa adanya seperti itu. Tetap seperti tidak terawat. Tahir mengizinkan beberapa tukang becak menempati rumah tersebut sebagai kenangan bahwa di rumah itulah bapaknya dulu berusaha membuat becak dan menyewakannya.

Dari karyawan koran dan menjadi juragan becak, ayah Tahir kemudian membuka toko sederhana. Ibunya tidak mau hanya menunggu pembeli. Perempuan itu memilih ”menjemput” pembeli dengan jalan berjualan keliling dari rumah ke rumah. Anak-anaknyalah yang menjaga toko.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan