Melemah karena UMK

Industri Sepatu Kehilangan Rp 758 M

SURABAYA – Pemprov Jatim meluluskan penangguhan pemberlakuan upah minimum kabupaten (UMK) kepada 22 perusahaan sepatu di ring I, dengan besaran Rp 2,2 juta per bulan. Angka itu di atas besaran yang diajukan produsen sepatu yakni Rp 2,1 juta per bulan.

Industri Sepatu - UMK
TIMPANG: Perusahaan sepatu di ring I merasakan kerugian karena pemberlakuan UMK dengan besaran Rp 2,2 juta yang dirasa memberatkan.

Forum Komunikasi Pengusaha (Forkas) Jawa Timur (Jatim) menilai, upah sebesar itu melemahkan daya saing industri sepatu. Akibatnya, sektor usaha tersebut kehilangan order senilai USD 60 juta (setara Rp 758 miliar, kurs USD 1 = 12.600) tahun ini, karena buyers asal Eropa, Jepang, dan AS mengalihkan order ke Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh.

Sekretaris Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim Ali Mas’ud mengatakan, ke-22 perusahaan sepatu tersebut mengajukan penangguhan pemberlakuan UMK sepanjang tahun ini, tapi hanya 19 perusahaan yang memperoleh penangguhan 12 bulan. Sedangkan tiga perusahaan lain masing-masing memperoleh penangguhan 11 bulan, enam bulan, dan tiga bulan.

Dia menjelaskan, industri sepatu tersebut tersebar di Surabaya, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Gresik, dimana besaran UMK 2015 ditetapkan Rp 2,7 juta per bulan sesuai Peraturan Gubernur No. 90 Tahun 2014. Kalangan produsen sepatu di ring I itu tidak mampu menerapkan UMK sebesar itu, karena tergolong industri padat karya.

’’Karena itulah mereka mengajukan penangguhan UMK, agar tetap mampu memenuhi kontrak tahun lalu yang telah ditandatangani dengan buyers dari negara-negara Eropa, Asia, dan AS. Sekarang ini tercatat ada 60 perusahaan sepatu yang tersebar di beberapa kabupaten/kota Jatim yang umumnya berorientasi ekspor,’’ katanya.

Ali menambahkan, sebagian besar perusahaan sepatu di Jatim enggan mengajukan penangguhan pemberlakuan UMK, meskipun tidak mampu menerapkan ketentuan UMK yang ditetapkan Pemprov Jatim tahun ini. Perusahaan sepatu tersebut lebih memilih menerapkan upah secara bipartit, yaitu sesuai kesepakatan antara pihak perusahaan dan pihak pekerja, dimana besarannya di bawah UMK tahun 2015.

Dia menyampaikan, alasan pengusaha tidak mengajukan penangguhan lantaran persyaratannya cukup rumit. Di antaranya, harus ada kesepakatan bipartit pengusaha dan pekerja, harus melampirkan laporan keuangan yang diaudit akuntan publik, dan ada paparan tentang riwayat perusahaan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan