MEA Berat di Kemampuan Pekerja

TEKANAN berat yang dirasakan Indonesia saat keran MEA dibuka akhir tahun ini adalah persaingan tenaga kerja. Publik pun khawatir era tersebut hanya akan merugikan para tenaga kerja Indonesia (TKI).

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pihaknya terus melihat perkembangan terkait dengan persiapan dan perjanjian Indonesia dengan negara satu regional. Namun, dia mengaku masih belum menemukan kesimpulan positif dari implementasi pasar bebas regional.

”Kami dari pihak buruh masih beranggapan MEA lebih merugikan daripada menguntungkan. Dengan kondisi saat ini, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara-negara tetangga,” ungkapnya saat dihubungi Jawa Pos (induk Bandung Ekspres) baru-baru ini.

Dia menjelaskan, saat ini jumlah penduduk yang lebih besar menjadi daya tarik utama Indonesia. Hal tersebut tidak disertai dengan daya saing dari aspek industri. Dengan begitu, para investor lebih tertarik untuk menjadikan Indonesia sebagai wilayah target penjualan daripada basis produksi.

”Sebut saja soal industri otomotif. Jelas, Toyota Thailand lebih siap memproduksi mobil daripada Toyota Indonesia. Lalu, industri tekstil Vietnam jelas lebih murah daripada di Indonesia,” terangnya.

Ketidaksiapan tersebut, lanjut dia, berkaitan dengan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Saat ini kualitas sumber daya manusia di Indonesia memang masih rendah. Dia mencatat, sekitar 70 persen angkatan kerja Indonesia merupakan lulusan SMP ke bawah. Hal tersebut jelas membuat daya saing tenaga kerja lokal kalah oleh tenaga kerja asing (TKA).

”Ini juga berpengaruh pada produktivitas. Pasalnya, upah buruh di Indonesia masih lebih kecil daripada negara tetangga yang sekelas seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand. Padahal, secara prinsip, produktivitas tenaga kerja akan meningkat seiring dengan upah yang diterima,” jelasnya.

Semua itu diperparah regulasi yang seakan-akan tidak memihak tenaga kerja lokal. Menurut dia, langkah pemerintah saat ini seakan-akan membiarkan TKA menuju Indonesia. Hal tersebut terlihat dari rencana wajib menguasai bahasa Indonesia bagi TKA yang dihapus.

”Jangankan itu, regulasi eksisting saja tak diimplementasikan dengan baik. Sebelum MEA, TKA sudah menyerbu Indonesia. Kami sendiri sudah melihat nyata orang-orang Tiongkok yang menjadi pekerja unskilled di berbagai daerah. Dari Buleleng, Bali, sampai Pulogadung, Jakarta,” ungkapnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan