Hanya Sebar 500 Keping

JUMAT sore (13/6) lalu, suasana di Loubelle Shop terlihat lebih ramai. Muda-mudi berlalu-lalang, ada pula yang bercakap-cakap. Lighting warna-warni menyoroti ruang tengah. Lengkap dengan perlengkapan musik Disc Jockey (DJ).

FFWD Record
FAJRI ACHMAD NF/BANDUNG EKSPRES

PELOPOR: Dua dari The Three Musketeers-nya FFWD Records, Didit Eka Aditya (kiri, 43) dan Ahmad Marin Ramdhani (kanan, 39).

Hal ini tak heran, karena hampir setiap minggu di hari Jumat, Loubelle Shop jadi tempat band-band indie manggung. Setidaknya, untuk dua sampai empat band. ’’Biasanya main di luar, di taman. Tapi sekarang konsepnya di dalam ruangan,’’ ujar Humas Fast Forwards Records (FFWD) Idham M. Haedar kepada Bandung Ekspres.

Pionir indie label di Kota Bandung ini memang masih rutin dengan misinya memajukan band-band indie. Tak hanya dari Kota Bandung, FFWD terkadang menyambangi kota-kota lain dengan misi yang sama. Seperti, Jogjakarta dan Jakarta. Setiap mengadakan kegiatan yang bernama An Intiminacy ini, FFWD menggandeng band-band baru ataupun yang sudah dikenal masyarakat sebagai pengisi acara.

Hal ini ditegaskan kembali oleh salah satu pendiri FFWD Records, Ahmad Marin Ramadhani, 39. Dia sendiri mulai berkecimpung di indie label sejak 1999. Yakni, pada masa yang dapat dikatakan warna-warni band indie sedang redup.

Marin mengaku, tidak sendirian meniti karir di FFWD Records. Dia berkolaborasi bersama kawannya, Didit dan Helvi. Mereka dipercaya untuk merilis album band asal Prancis, The Cherry or Chart, agar musiknya dapat disukai di Kota Kembang. ’’Waktu itu, saya belum tau cara bikin rilis, promosi ke media, kayak masukin ke radio-radio di Bandung. Didit sama Helvi yang udah punya pengalaman sebelumnya,’’ ujarnya saat ditemui secara eksklusif beberapa waktu lalu.

Tetapi, Marin termasuk orang yang suka mempelajari suatu hal baru. Pengalamannya mendatangi radio-radio dan menempelkan poster di segala penjuru Kota Bandung membuahkan hasil. Meski sering juga ditolak mentah-mentah. ’’Sakit hati sih. Tapi saya suka kerjaan ini. Ya jalanin aja,’’ ujarnya santai.

Indie label bagi Marin merupakan ladang untuk memacu kreativitas. Sebab, berbeda dengan industri major label yang produksinya masif, indie label bertahan sebagai petarung kuat di ranah musik Indonesia. Khususnya di Bandung. ’’Kita sekali produksi paling cuman 500 keping, terus dibagi-bagi pendistribusiannya. Biasanya 400 kita sebar ke media, dan 100 lagi ke teman-teman atau titip di distro,’’ jelas Marin.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan