Bupati: Seret Pabrik Pencemar Lingkungan

[tie_list type=”minus”]Puluhan Tahun tanpa Solusi[/tie_list]

SOREANG – Warga Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung yang terkena dampak limbah industri tekstil memilih pasrah. Pasalnya, meskipun pencemaran sudah berlangsung puluhan tahun, sampai saat ini mereka belum juga mendapatkan solusi yang baik.

Sejumlah aksi protes yang pernah dilakukan pun tidak mampu mengubah keadaan. Seorang petani Didi Sukandi, 74 mengatakan, masyarakat pernah melakukan tiga kali unjuk rasa dalam waktu sepuluh tahun. Yaitu pada 2000, 2005, dan 2010. Dalam aksinya, dia bersama puluhan petani Kecamatan Rancaekek yang sawahnya tercemar, mendatangi manajemen PT Kahatex sebagai perusahaan terduga pembuang limbah terbesar. Mereka meminta perusahaan tersebut mengolah limbah sebelum dibuang ke Sungai Cikijing.

Meski tuntutan selalu bisa mereka sampaikan, dikatakan Didi, pencemaran tetap berlangsung bahkan semakin meluas. Didi mengatakan, dari luas lahan sawah yang dia miliki sekitar 5.200 meter persegi, hanya seluas 1.400 meter persegi dari lahannya yang bisa ditanami padi. ’’Sisanya tidak bisa ditanami karena terkena limbah pabrik,’’ kata dia kepada Soreang Ekspres (Grup Bandung Ekspres) kemarin (5/8).

Sementara itu, Ade Sumarni, ibu rumah tangga yang rumahnya dekat dengan PT Kahatex menambahkan, selain lahan sawahnya yang sudah mati total, dia juga tidak pernah bisa mendapatkan air bersih untuk minum dan masak dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. ’’Saya sudah cape mengeluh, ya akhirnya nerima saja. Meskipun susah dapet air bersih buat minum dan masak,’’ ujarnya.

Ade juga mengaku terpaksa membeli air galon isi ulang untuk memenuhi kebutuhan air bersih. ’’Kalau buat minum dan masak beli air galon saja, tapi buat mandi sama mencuci terpaksa pakai air sumur yang ada,’’ aku dia.

Dari informasi yang berhasil dihimpun dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, setidaknya lima upaya menghentikan pencemaran telah dilakukan pemerintah pusat maupun daerah secara berkesinambungan. Upaya yang intens dilakukan sejak 2002 hingga 2014 tersebut, kebanyakan berupa langkah persuasif di luar pengadilan, antara lain berupa mediasi dan memberi peringatan.

Namun upaya-upaya tersebut tidak menghasilkan perubahan signifikan bagi masyarakat terimbas limbah. Kini,warga terdampak limbah pun menantikan upaya nyata pemerintah, baik Kabupaten Bandung maupun Provinsi Jawa Barat untuk menerapkan Undang-undang lingkungan hidup. ’’Jangan cuma ngomong saja pemerintah teh, tapi harus ada kerja nyatanya. Warga yang harus dilindungi, bukannya pemilik pabrik yang teerbukti sudah merusak lingkungan,’’ ucap Didi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan