Alternatif Beras Bernama Sorgum

SOREANG – Adanya isu beras sintetis sepertinya tidak berpengaruh besar di wilayah Kabupaten Bandung. Pasalnya, wilayah berpenduduk 3,4 juta jiwa ini memiliki banyak sekali tanaman yang di budidayakan untuk pengganti beras atau gandum, sehingga masih ada alternatif lain untuk bahan makanan pokok selain nasi.

Salah satu tanaman yang saat ini terus dikembangkan oleh para petani di Kabupaten Bandung adalah tanaman sorgum. Jenis tanaman yang mulai dikembangkan sejak tahun 2000-an ini memiliki keistimewaan tersendiri. Karena setelah dipanen dan diolah, tanaman ini bisa dijadikan bahan baku untuk membuat aneka makanan dan penganan bergizi tinggi seperti roti, kue basah, kue kering, bakso, dan lain-lain.

Salah satu petani yang konsen dalam budidaya sorgum adalah Supardi atau yang sering dipanggil Abah Sorgum. Sejak lima belas tahun lalu, dia terus berusaha mengembangkan tanaman tersebut dan memperkenalkannya kepada masyarakat sebagai salah satu makanan alternatif pengganti beras atau gandum. Tanaman yang berasal dari India ini hampir mirip jagung, tetapi setiap tangkainya memiliki butiran-butiran seperti padi dan sangat rentan terhadap hama burung. ’’Harus benar-benar dijaga, soalnya semua jenis burung sangat suka sama tanaman ini. Makanya harus pakai penutup di atasnya,’’ kata Supardi kepada Soreang Ekspres (Grup Bandung Ekspres) belum lama ini.

Setelah dipanen, sorgum kemudian dirontokan dari tangkainya, lalu di jemur sampai kering. Setelah itu, sorgum bisa di lembutkan menjadi tepung dan baru bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan. ’’Bisa juga dicampur bahan makanan lain seperti terigu atau gandum kalau mau diolah,’’ tambahnya.

Harga jual sorgum mencapai dua puluh ribu rupiah per kilogramnya dan saat ini permintaannya cukup tinggi. ’’Untuk pabrik roti di Kota Bandung permintaannya mencapai 400 ton per tahun,’’ terang Supardi.

Meski harganya relatif mahal, namun sampai saat ini para petani mengaku belum tahu berapa harga pastinya di pasaran. Karena pemerintah sendiri belum menentukan harga eceran tertinggi (HET)-nya, padahal permintaan untuk pabrik roti terus meningkat setiap tahunnya. ’’Saat ini belum di tentukan HET-nya, jadi kita jual rata-rata dua puluh ribu saja per kilonya,’’ jelas Supardi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan